Rabu, 21 Oktober 2015

pengaruh aliran cash flow di indonesia terhadap pertukaran nilai rupiah dan USD

Ini Dampak Penguatan Rupiah Bagi Perbankan


Jakarta -Nilai tukar rupiah terus menunjukan tren penguatan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Dolar AS pagi tadi bahkan sempat menyentuh level Rp 13.200, bandingkan dengan pekan lalu yang mencapai Rp 14.600.

Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Achmad Baiquni menjelaskan besarnya pengaruh penguatan rupiah bagi perbankan. Sehingga diharapkan penguatan rupiah ini masih terus berlanjut‎ sampai menyentuh batas fundamental yang diperkirakan oleh Bank Indonesia (BI).

"Penguatan dolar berpengaruh, sangat berpengaruh. Memang kita harapkan rupiah itu levelnya sesuai fundamentalnya, dengan adanya penguatan itu kondisi ini berharap berlangsung terus sampai yang BI anggap itu sudah mencapai batas fundamental di angka berapa," ujarnya di Kantor Pusat BNI, Jakarta,‎ Kamis (15/10/2015)

Menurut Baiquni, ‎dengan rupiah yang menguat, tentunya membantu kalangan industri di sektor ril. Khususnya yang mengandalkan produksi dari bahan baku impor. Karena bisa mengurangi beban biaya yang muncul saat pelemahan rupiah.

"Kan kita ada nasabah di sektor ril, karena bahan bakunya impor, saat rupiah melemah tentu menaikkan ongkos produksi, nah itu kan menjadi beban bagi perusahaan. Kalau rupiah menguat‎ itu bisa membantu mereka" terangnya.

Maka dengan demikian, pembayaran kredit dari perusahaan ke perbankan juga bisa lancar. Artinya perbankan bisa menjaga kredit‎ bermasalah atau non performing loan pada level yang baik. Baiquni menyebutkan NPL bank berkode 
BBNI itu tahun ini diperkirakan sebesar 2,8%.

"Akhir tahun 2,8% untuk NPL," tegasnya.

Selain penguatan rupiah, juga harus dijaga sisi kestabilan. Sebab‎, nilai tukar yang bergerak terlalu fluktuatif maka akan mempersulit dunia usaha untuk menentukan arah bisnisnya. Termasuk dalam berinvestasi atau ekpansi.

"Kestabilan itu diperlukan‎ setelah penguatan. Biar bisnis itu ketahuan arahnya," kata Baiquni.
Jakarta -Nilai tukar rupiah bergerak cukup fluktuatif terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa hari terakhir. Setelah sempat menguat pada posisi Rp 13.200/US$, sekarang bergerak lagi ke Rp 13.700/US$.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo menuturkan, ada beberapa pengaruh yang menyebabkan kondisi tersebut. Ada dari internal dan eksternal.

"Ya itu adalah cerminan dari pada harga kita, dan harga kita itu adalah termasuk bagaimana fundamental ekonomi Indonesia, dan pengaruh dari eksternal juga," ujarnya di sela-sela acara Trade Expo Indonesia ke 30 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (21/10/2015).

Faktor eksternal, kata Agus, meliputi perkembangan ekonomi China. Pada kuartal III-2015, pertumbuhan ekonomi China mencapai 6,9% sepanjang kuartal III-2015. Angka ini merupakan yang terendah sejak krisis keuangan global terjadi di 2009 lalu. 

"Saya rasa kalau sekarang banyak faktor eksternal, dan tiga yang utama adalah kondisi perkembangan ekonomi di China," terangnya

Kemudian masih seputar kebijakan bank sentral AS, yaitu Federal Reserve (The Fed) yang yang batal menaikkan suku bunga acuan pada September lalu. Rencana tersebut bergeser ke akhir 2015 atau awal 2016. Di mana memperpanjang masa spekulasi bagi investor.

"Kedua, normalisasi kebijakan The Fed, dan ketiga harga komoditas yang terus terkoreksi. Jadi tiga faktor itu yang paling dominan," terangnya.
Jakarta -Utang dari Bank Pembangunan China (China Development Bank/CBD) senilai US$ 3 miliar (Rp 39 triliun) dinilai mengurangi tekanan rupiah atas penguatan dolar Amerika Serikat (AS). 

Sebab, pinjaman tersebut diberikan kepada 3 bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam bentuk dolar AS dan yuan China. Sehingga RI yang kekurangan pasokan dolar AS di dalam negeri bisa mendapat sedikit 'bantuan'

Ketua Perbanas Sigit Pramono mengatakan, saat ini rupiah sudah masuk soft currencies yang nilainya dipengaruhi oleh hard currencies seperti dolar AS dan yuan China. Jadi pengaruh eksternal terhadap rupiah sudah sangat besar.

"Naik-turunnya rupiah sangat tergantung dengan negara-negara hard currencies, jadi ini lebih ke faktor eksternal, tidak bisa ada pihak yang disalahkan, ketika dalam posisi lemah," ujarnya ditemui di kantor OJK, Jakarta Pusat, Senin (12/10/2015).

Sigit mengatakan, meskipun ada intervensi dari Bank Indonesia (BI), nilai tukar rupiah tetap tidak bisa tiba-tiba menguat tajam. Cadangan devisa (cadev) RI juga bisa berkurang banyak jika terus dipakai untuk intervensi.

"Itu (utang China) lebih banyak untuk mengurangi tekanan, paling tidak itu mengurangi tekanan. Itu kan sangat jangka pendek, pinjaman kan harus dikembalikan, harus kita atur dengan baik. Yang paling ideal, rencana pembangunan jangka panjang tumbuh sangat kuat, syukur-syukur double digit 10-11%," katanya.

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini jangan hanya terjadi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saja, tapi juga harus panjang sampai ke rezim berikutnya.

"Ini bedanya pemerintah sekarang dan orde baru, mereka komitmen jangka panjang lebih terlihat. Ini perlu kesepakatan politik antara parlemen dan pemerintah dan bisa disepakati antar parlemen. Kalau mau serius bikin kuat mata uang kita ya komitmen pertumbuhan ekonomi tumbuh double digit. Kita negara nomor 16 terbesar di dunia, jadi ini bukan mustahil," katanya.


Penulis :
Maikel Jefriando - detikfinance
Kamis, 15/10/2015 13:33 WIB
Maikel Jefriando - detikfinance
Rabu, 21/10/2015 12:06 WIB
Dewi Rachmat Kusuma - detikfinance

Senin, 12/10/2015 17:13 WIB